Jurnalistik bisa jadi salah satu materi menarik yang diajarkan di SD hingga SMU melalui kegiatan ekstrakurikuler sekali sepekan. Pembelajaran tentang jurnalistik dapat disampaikan secara menyenangkan sehingga bisa dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik. Keberadaan eskul ini juga bisa menjadi media dalam menambah wawasan dan ilmu baru di luar mata pelajaran wajib.
Dulu ilmu jurnalistik diperoleh di universitas melalui jurusan khusus. Namun saat ini pembelajaran menulis cerita diaplikasikan sejak dini. Para siswa dikenalkan bagaimana cara menulis berita yang baik; berdasarkan fakta, akurat, dan memperhatikan kaidah jurnalistik. Rumus penulisan berita 5 W + 1 H bisa dipraktikkan siswa secara langsung dengan melakukan praktik di lapangan.
Ekstrakurikuler jurnalistik ini merupakan soft skill yang bisa memberikan banyak manfaat kepada peserta didik. Sebab, dalam prosesnya siswa tidak hanya berlatih memproduksi karya-karya jurnalistik saja. Namun, juga melatih terbiasa berpikir kritis dan analitis melihat fenomena-fenomena sosial di lingkungan sekitar. Sebagai modal untuk membuat tulisan-tulisan dan memotret sesuatu yang bernilai berita.
Dalam belajar jurnalistik, siswa juga didorong untuk berani jujur, terbuka, percaya diri, dan mandiri. Hal itu penting untuk membangun karakter siswa yang berintegritas. Menumbuhkan itu semua tentunya butuh proses panjang dan latihan terus-menerus sehingga bisa menjadi bagian dari karakter siswa.
Ketika mengajar jurnalistik di SD-SMU, para siswa seperti mendapatkan hal baru dari apa yang saya sampaikan di kelas. Mereka saya kenalkan tentang apa itu ilmu jurnalistik dan bagaimana teknis menulis jurnalistik. Ternyata materi ini berkembang jauh seiring dengan kebutuhan siswa dan sekolah.
Seperti misalnya, tadinya banyak siswa yang masih ragu-ragu dalam menulis dan berbicara. Ini menjadi problem di jenjang SD hingga SMU. Padahal ini aspek penting dalam belajar jurnalistik. Maka, yang saya lakukan tentunya memancing keberanian siswa untuk belajar berbicara di depan kelas atau mengajukan sebanyak mungkin pertanyaan untuk berikutnya ditulis sesuai dengan teori yang sudah saya sampaikan sebelumnya.
Terlihat sederhana. Namun, tak banyak siswa yang bisa dengan mudah melakukannya. Tetapi, latihan terus-menerus membuat mereka akhirnya terbiasa bertanya, menyampaikan fakta untuk diolah menjadi informasi dan kritis ketika melihat atau mendengar isu-isu di sekitar mereka.
Berpikir Skeptis
Dalam belajar jurnalistik dasar, mula-mula yang harus ditanamkan dalam diri peserta didik adalah rasa ingin tahu yang tinggi. Karena ini menjadi modal awal untuk bisa mengumpulkan banyak informasi atau fakta di lapangan. Memang, belajar jurnalistik bukan berarti akan menjadi wartawan di kemudian hari. Tapi pengetahuan ini akan memberikan manfaat dan kemudahan untuk membantu belajar materi lain.
Rasa ingin tahu akan membuat peserta didik tidak segan bertanya dan meminta penjelasan atas sesuatu. Dalam buku Jurnalisme Dasar yang ditulis Luwi Ishwara, disebutkan pertanyaan-pertanyaan ”apa itu?” dan ”mengapa?” baik digunakan untuk mengumpulkan berita. Tinggal menambahkan beberapa lagi: siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan lalu apa? (halaman 58).
Ya, sikap skeptis ini menjadi salah satu ciri khas jurnalisme. Mengutip Tom Friedman dari New York Times seperti dikutip dalam buku Jurnalisme Dasar, disebutkan bahwa sikap skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala konsisten agar tidak mudah ditipu. Jadi inti sikap skeptis sebenarnya adalah keraguan. Nah, keraguan ini yang akan membuat peserta didik akan terus bertanya, mencari sampai mendapatkan kebenaran.
Benar, ketika siswa mulai terbiasa untuk selalu ingin mencari tahu dan mempertanyakan banyak hal, ini membuat guru ”kewalahan” untuk menjawab pertanyaan. Namun, ini membuat kelas terasa hidup dan komunikatif. Siswa bisa menjadikan rasa ingin tahu ini sebagai modal untuk menghasilkan karya jurnalistik, seperti wawancara dengan narasumber, hunting informasi, dan menuliskannya ke dalam bentuk berita.
Bagi sebagian orang, menganggap sikap skeptis ini berbahaya. Padahal justru menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa, seperti melatih siswa untuk berpikir dan bersikap bijaksana menghadapi suatu masalah. Kemudian, tidak gampang percaya dengan segala informasi yang masih belum jelas kebenarannya. Paling tidak, siswa akan terbiasa melakukan kroscek untuk memastikan informasi yang diterimanya bukan berita palsu.
Di sinilah guru pendamping mengambil peran mendukung dan mengarahkan siswa untuk menjaga konsistensi dalam bersikap kritis terhadap apa pun. Guru, bisa memberi rekomendasi banyak literatur, seperti buku-buku, koran, dan majalah yang bisa diakses oleh siswa untuk menambah pengetahuannya. Guru juga selalu punya waktu untuk berdiskusi dengan peserta didik serta membuka ruang diskusi seluas-luasnya baik di kelas ataupun di luar jam pelajaran. Dengan demikian, keingintahuan siswa bisa terjawab atau setidaknya mendapatkan literatur dan panduan ke mana bisa mendapatkan informasi yang tepat.
Mempelajari jurnalistik juga akan memunculkan potensi unik lain dalam diri siswa yang belum teridentifikasi sebelumnya. Seperti kemampuan fotografi, membuat layout artistik, dan juga editing. Soft skill kreatif ini jika terwadahi dengan memadai tentu akan membuat siswa semakin terampil. Kelak bakat ini bisa menjadi sumber penghasilan.