Guru, digugu dan ditiru merupakan akronim yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Dikutip dari laman kompasiana.com, digugu berasal dari bahasa Jawa yang artinya dipercaya dan dipatuhi, sedangkan ditiru artinya dicontoh dan diteladani. Saking digugu dan ditirunya, seringkali guru-guru dianggap dapat melakukan apa pun, ahli di bidang apa pun, dan bahkan semua tindak tanduknya selalu menjadi sorotan bagi orang-orang di sekitar, entah itu tindakan baik ataupun buruk.
Di sekolah jika murid-murid melakukan kesalahan, terkadang mereka akan melontarkan kalimat pamungkas, “Bapak dan/ibu gurunya saja begitu, masa kami nggak boleh begitu?” Kalimat seperti itu seolah-olah mutlak menyatakan bahwa “seharusnya” semua yang dilakukan guru itu adalah hal yang benar karena mereka adalah panutan.
Namun bagi kita para guru, apakah kita benar-benar sudah menjadi orang yang pantas digugu dan ditiru?
Guru memanglah manusia biasa yang tak luput dari dosa dan kesalahan, tapi kita tak punya pilihan lain selain mengusahakan kebaikan dalam kondisi apa pun itu. Karena lambat laun semuanya pasti akan dipertanggungjawabkan.
Introspeksi Diri
Kita sebagai guru mungkin seringkali merasa sudah melakukan hal yang benar, atau merasa paling benar dengan apa yang kita lisankan dan lakukan di hadapan murid-murid atau bahkan di depan orang-orang di sekitar kita.
Tapi sadarkah kita bahwa seharusnya kita tidak hanya pantas ditiru di tengah keramaian tapi juga dalam kesendirian?
Ketika ada waktu luang di sekolah, kita seringkali membicarakan murid-murid. Pembicaraan itu jika dihadapkan dengan rekan diskusi yang benar, dengan niat yang benar, mungkin akan mendapatkan kesimpulan yang benar. Namun nyatanya, pembicaraan-pembicaraan itu hanya pembicaraan kosong yang tujuannya meluapkan kekesalan kesana-kemari dan tanpa disadari kita sudah menggunjingkan murid kita sendiri.
Pada saat di sekolah, kita selalu menuntut murid untuk mengerjakan tugas ini itu dan mengumpulkannya tepat waktu. Tapi setelah itu kita tidak ‘menyempatkan’ diri untuk memeriksanya dengan alasan banyak pekerjaan, padahal itu juga merupakan bagian dari pekerjaan.
Di rumah, saat kita di ruang tidur sendiri kita seringkali merasa leluasa melakukan apa pun, membuat ruang seberantakan mungkin tanpa perlu dirapikan karena merasa tidak akan ada yang melihat. Di jalan raya, ketika kita terburu waktu, kita membalap kendaraan kita secara ugal-ugalan tanpa melihat kiri-kanan sehingga kita lupa bahwa mungkin saja ada murid kita yang memperhatikan.
Pernahkah kita berpikir, “Kalau saya melakukan ini, jangan-jangan murid saya juga akan melakukan hal yang sama.”
Kita seringkali mendengar peribahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa ini sekali lagi menegaskan bahwa begitu urgensi nya sosok seorang guru di bumi ini. Bagi murid dan juga orang-orang di sekitarnya, semua tindak tanduk guru adalah hal yang bisa jadi mutlak dicontoh. Maka dari itu kita sebagai guru hendaklah berpikir sebelum melakukan segala sesuatu.
Peristiwa-peristiwa yang dijabarkan di atas hanya segelintir peristiwa yang mungkin saja kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan kita merasa itu bukan kesalahan. Semoga kita selalu mengintrospeksi diri dan terus bersemangat dalam memperbaiki diri menuju kebaikan.