When I was just a little girl
I asked my mother, what will i be
will I be pretty
will I be rich
Here’s what she said me
Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future’s not ours to see
Que sera, sera
What will be, will beQue Sera-sera, dipopulerkan oleh Doris Day tahun 1956
Que sera-sera, yang dalam bahasa Spanyol berarti “apa yang akan terjadi, terjadilah” menggambarkan betapa curiosity (rasa ingin tahu) anak tentang masa depan mereka. Lagu ini mengajarkan tentang penerimaan seorang anak terkait dengan takdir hidupnya. Bahwa apa pun yang akan terjadi di masa depan nanti, biarkanlah terjadi.
Hasil Riskesdas Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2018 mengungkap bahwa sebanyak 6,2% remaja usia 15-24 tahun mengalami depresi. Sebuah keadaan di mana seorang anak merasa sedih yang berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati (P2PTM Kemkes RI). Masalah ini sangat mengkhawatirkan bagi kondisi masa depan bangsa Indonesia. Sebab remaja hari ini adalah calon pemimpin bagi negeri ini di masa depan.
Depresi ini diakibatkan oleh berbagai faktor, antara lain akibat dari tekanan dalam bidang akademik, perundungan, masalah ekonomi hingga elemen terdekat yaitu keluarga. Terkait dengan masa depan anak, depresi di bidang akademik bisa disebabkan oleh stigma bahwa jika anak tidak pintar maka anak tidak akan sukses. Selain itu depresi anak juga sering terpupuk justru dari elemen terdekat yaitu keluarga. Pola asuh yang tidak membuka ruang bagi anak untuk mengutarakan pendapatnya atau mengekspresikan keinginannya akan membuat anak merasa bahwa seolah dia tidak dipercaya untuk memegang kendali atas hidupnya sendiri.
Maka dengan sangat “apik” lagu Que Sera-Sera mencoba membangun komunikasi yang sehat dan baik bagi jiwa dan pikiran anak. Bahwa setiap orang wajar memiliki kekhawatiran akan masa depan tetapi apa pun yang terjadi biarlah terjadi. Lalu bagaimanakah cara agar anak-anak tetap optimis dan mampu meraih masa depan yang gemilang?
Menyadari Keunikan Potensi Anak
Semua orang jenius, tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon maka seumur hidup dia akan mengira bahwa dirinya bodoh. Itulah ungkapan populer dari Abert Eisntein. Setiap anak unik, setiap anak menarik. Namun, selama mereka tidak mengetahui betapa unik dan menariknya mereka maka sepanjang itulah mereka mengira bahwa hidup mereka tidak bermakna.
Cara agar anak mampu mewujudkan hidup mereka yang bermakna adalah dengan mengenali dan membangkitkan potensi yang ada di dalam dirinya. Namun, potensi itu akan lebih mudah dikenali dengan cara menganalogikan dengan bahasa kehidupan yang terdekat dengan mereka. Tujuannya adalah agar anak lebih mengerti dan lebih cepat memahami potensi dirinya sendiri.
Namun, tulisan ini tidak akan membahas mengenai jenis potensi anak dan lainnya. Melainkan bagaimana anak menyadari giant within atau sesuatu yang luar biasa dalam dirinya yang akan menambah rasa percaya diri dan kemauan yang besar untuk meraih keberhasilan. Sebagaimana ada suatu kaidah yang disampaiakan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal bahwa metode itu lebih penting dari materi itu sendiri. Dalam hal ini cara menganalogikan potensi peserta didik harus tertanam dalam belief system kita bahwa hal ini lebih penting dari hanya menjelaskan jenis-jenis potensi itu sendiri.
Menganalogikan Potensi Peserta Didik
Menurut Pak Ngalim Purwanto dalam buku Psikologi Pendidikan pada bab penjelasan analogi, beliau menjelaskan analogi itu sebagai cara berpikir dengan menyamakan atau membandingkan fenomena-fenomena yang biasa atau pernah dialami. Bagi generasi yang lahir pada tahun 1990-an sampai generasi saat ini pasti tidak asing lagi dengan anime. Hasil budaya jepang berupa animasi yang digambar menggunakan tangan ataupun teknologi komputer. Kebudayaan ini populer di Indonesia dan pernah menjadi trend lifestyle yang melekat pada generasi saat ini.
Ada satu animasi yang bisa dianalogikan guna membangkitkan potensi didalam diri seorang anak, yaitu Naruto. Sinopsis anime ini menggambarkan karakter utama yaitu Uzumaki Naruto, seorang ninja yang ditakuti sejak kecil karena tersegelnya monster Rubah ekor sembilan bernama Kurama di dalam tubuhnya dan akhirnya menjadi seorang pahlawan yang menyelamatkan desanya dari invasi organisasi jahat bernama Akatsuki.
Pelajaran yang bisa diambil dalam kisah fiksi Naruto itu mengajarkan tentang penerimaan takdir seorang anak yang dianugerahi potensi luar biasa. Orang-orang mengira bahwa apa yang ada di dalam dirinya itu (Kurama-monster Rubah ekor sembilan) adalah suatu kutukan sehingga dia dirundung dan dijauhi oleh teman sebayanya. Namun, Naruto tidak menyerah dan tidak putus asa. Dia mencoba menerima takdir itu dan berusaha sekeras mungkin menjadi yang terbaik versi jalan ninjanya sendiri. “Jika kau menungguku untuk menyerah, kau akan menungguku selamanya,” begitu tegasnya.
Naruto menyadari bahwa dia lemah dalam hal akademik. Terbukti dengan hanya dia satu-satunya ninja yang belum pernah lolos dalam ujian kenaikan kelas dari Genin menjadi Chunin. Di sisi lain, Naruto memiliki mimpi yang besar yaitu dia ingin menjadi seorang Hokage, orang nomor satu di desanya. Bukankah hal ini sangat berbanding terbalik antara keadaan dengan mimpinya? Apakah Naruto tidak khawatir dengan masa depannya?
Naruto khawatir. Naruto dalam beberapa episodenya terlihat menangis, tetapi sedihnya bukan karena dia belum mampu menjadi Hokage. Dia justru sedih ketika dia tidak mampu melindungi rekan dan orang yang dia sayangi. Sakitnya sejak kecil mampu mengubah perjalanan hidupnya menjadi empati yang luar biasa. Itulah nilai kehidupan sesungguhnya yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau Hokage.
Naruto tumbuh dalam kepercayaan diri yang luar biasa. Dia membangun belief system yang tahan banting dan mampu mengubah orang di sekitar bahkan musuhnya menjadi teman. “Aku tak akan pernah menarik kembali kata-kata ku, karena itulah jalan ninja ku” Uzumaki Naruto. Dari perkataanya ini seolah menyiratkan bahwa apa pun yang terjadi, dia akan terus berjuang dan mengejar cita-citanya. Begitulah seharusnya kita memandang takdir. Que sera-sera. Apa yang terjadi terjadilah. Usaha milik kita tetapi hasil adalah milik Yang Maha Kuasa.
Dalam upaya membangkitkan potensi peserta didik, kita terima takdir yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan berusaha semaksimal mungkin mengembangkan potensi yang dimiliki serta menyerahkan semua hasilnya kepada Sang Pencipta. Que sera-sera.